Apa yang akan Anda lakukan ketika berjumpa seseorang dengan sesungging senyum manis di lekuk bibirnya? Bandingkan reaksi Anda apabila orang yang dijumpai itu mengerutkan bibir dengan tatapan mata tajam. Tak ada ekspresi senyum sedikit pun di wajahnya. Hampir pasti akan muncul respons berbeda untuk dua situasi tersebut.
Ekspresi di wajah seseorang berpengaruh langsung terhadap pola komunikasi dan bentuk interaksi sosial yang terjadi, termasuk ekspresi balasan yang ditampilkan kemudian.
Di gerbang tol Jatiwarna, Bekasi, misalnya, bagai oase saat memasuki antrean di salah satu gerbang tol. Saya juluki gerbang tol itu paling cerdas dari sekian banyak gerbang tol yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Gerbang pada ruas Jatiwarna ini adalah loket jalan keluar menuju salah satu taman wisata di timur Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Meski antrean kendaraan begitu panjang, petugas selalu proaktif mengambil kartu, menerima pembayaran, dan siap dengan uang kembali.
Dari segi waktu dan gerak (time and motion) terkesan efektif, efisien, dan optimal. Dalam hal jasa layanan, sapaan ramah dan senyum hangat melengkapi kecerdasan di gerbang itu. Senyum yang menghiasi wajah petugas plus ucapan “selamat jalan”, tentu menyejukkan hati, bukan?
Komunikasi Nonverbal
Senyum merupakan salah satu isyarat nonverbal atau gesture manusia dalam berkomunikasi. Penelitian yang dilakukan Leonard, Voeller, dan Kaldau (1991) menunjukkan di dalam setiap senyuman terjadi peningkatan pesan positif yang komunikatif.
Indonesia sebagai negeri yang konon dikenal dengan keramahtamahannya (entah masih berlaku atau tidak?), senyuman mungkin tak terlalu sulit ditemui. Namun, tentu bukan hal mudah mengetahui apakah senyuman yang terpampang di hadapan kita itu tulus atau dibuat-buat.
Diperlukan latihan dan pengamatan yang lebih seksama apabila kita mempunyai kebutuhan untuk membeda-bedakan senyum seseorang dalam komunikasi. Sebagai isyarat di dalam komunikasi nonverbal, sebuah senyuman setidaknya memiliki enam ciri sebagaimana konsep komunikasi nonverbal secara umum.
Pertama, ia hadir di mana-mana, sebab setiap komunikasi yang terjadi pasti membawa serta isyarat nonverbal.
Kedua, membentuk suatu sistem bahasa yang universal. Banyak orang percaya isyarat nonverbal, seperti senyuman, merupakan kode yang diakui dan dipahami secara mendunia.
Ketiga, dapat menciptakan salah pengertian sebagaimana juga saling mengerti antarmanusia. Makna sebuah senyuman dapat pula salah ditangkap orang lain.
Keempat, memiliki keunggulan khas dalam interaksi antarmanusia, sebab isyarat nonverbal berpengaruh kuat pada menit-menit pertama sebelum terlalu banyak kata-kata terlontar.
Kelima, dapat mengekspresikan berbagai hal tentang pikiran dan perasaan orang yang tak mampu disampaikan dengan kata-kata. Misalnya sesuatu yang terlalu kasar, apabila harus diucapkan, senyuman dengan ekspresi jijik mungkin lebih mudah dan cepat ditangkap. Keenam, dapat dipercaya merupakan ciri yang begitu kuat.
Orang mengatakan ekspresi adalah “jendela jiwa”, demikian halnya senyuman dengan berbagai bentuk dan maknanya dapat dipercaya sebagai penyampai pesan yang ampuh mengenai kedalaman jiwa seseorang.
Beberapa ahli psikologi klinis melakukan penelitian mengenai senyuman. Mereka adalah Ekman dan kawan-kawan, mempublikasikan hasil temuannya bahwa perbedaan beberapa bentuk senyuman yang tampil, juga membedakan apakah seseorang tersenyum tulus atau hanya berpura-pura demi menutup-nutupi perasaan yang sesungguhnya.
Senyuman tulus yang mengekspresikan isi hati yang gembira biasanya terjadi bersamaan dengan munculnya gerakan otot mata. Orang-orang yang mengekspresikan senyum dari hati yang tulus tentu saja didorong oleh perasaan bahagia dan gembira ketika ia melakukannya.
Sebaliknya, senyum yang terjadi hanya di bibir, yakni dengan lengkungan ke atas, sedikit atau banyak, tanpa disertai gerakan-gerakan aktif otot di seputar mata sering dihubungkan dengan ekspresi jijik. Bahkan juga kesedihan, ketakutan, kecemasan, meremehkan, sinis, ekspresi rasa iri, yang sering kali terdapat pada senyuman orang-orang yang memanipulasi perasaan negatifnya.
Senyum yang muncul sebagai ekspresi manipulasi perasaan merupakan topeng (mask). Bagi orang yang kurang peka atau tidak terlatih menangkap ekspresi nonverbal orang lain, mungkin saja sebuah senyuman dapat menyesatkan atau mengaburkan.
Akibatnya, kepura-puraan dalam interaksi sosial disebabkan pesan sosial yang tidak sampai tersebut, semakin tebal. Beberapa tahun lalu, tembang dari God Bless yang dilantunkan Ahmad Albar, lirik awalnya mengatakan, “Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah…” cukup relevan menggambarkan kondisi dunia dan kehidupan manusia yang semakin diwarnai kepura-puraan.
Menyikapi keadaan dunia yang demikian, rasanya bisa pesimistis juga, jika setiap hari harus berhadapan dengan topeng-topeng wajah di sekeliling kita. Sementara kita membutuhkan nilai ketulusan pada ekspresi seseorang demi memperlancar pesan sosial dalam komunikasi.
Namun, marilah kita menghibur diri dengan pernyataan berikutnya dari Ekman dan kawan-kawan bahwa ekspresi wajah yang spontan (tidak sengaja) justru dapat mengungkapkan kebohongan atau kepura-puraan orang. Ekspresi seseorang, khususnya senyum yang menghiasi wajahnya, kadang-kadang dapat mendukung sikap kepura-puraannya atau justru menyingkap topeng pura-pura itu. Jadi, hati-hatilah memilih topeng.
Semakin sering menjumpai berbagai orang dengan berbagai topeng senyumannya, ditambah sedikit usaha meningkatkan kepekaan, kita dapat terampil menangkap senyum tulus atau pura-pura itu. Sekali lagi, senyuman yang tulus akan diikuti dengan gerakan aktif otot-otot di seputar mata.
Namun apabila ada orang yang tidak tersenyum jangan terlalu cepat dinilai tidak tulus. Sebab bisa saja otot wajahnya kaku, karena tidak terbiasa mengekspresikan perasaan. Atau ada pula orang-orang jaim (jaga image) yang menganggap senyum dapat menjatuhkan wibawa. Percayalah, ada orang seperti itu.
Ekspresi
Tidak perlu harus menjadi foto model atau selebriti untuk mengekspresikan senyuman di depan kamera, bukan? Jelas, senyuman memang mudah dibuat, dikondisikan, dan ditampilkan, demi mengakomodasi berbagai kepentingan.
Pencitraan perusahaan yang biasanya merupakan garapan bagian humas, banyak yang mencanangkan motto “senyum” sebagai salah satu kata kunci. Bahkan tak sedikit diangkat menjadi tagline iklan.
“Senyum dan sapa hangat kami senantiasa menyambut Anda sejak langkah pertama”, misalnya. Jika demikian, artinya senyum harus dilatih oleh setiap insan yang menjadi bagian organisasi tersebut. Apakah ini tergolong senyuman yang manipulatif?
Berpegang pada ciri-ciri senyuman tulus versi hasil penelitian, kita dapat mengembangkan pemahaman bahwa setiap orang bisa tersenyum. Namun, ada orang yang hanya “tersenyum di bibir” tapi “tidak tersenyum matanya”.
Dengan demikian pencanangan dan pelatihan “tersenyum” demi meningkatkan layanan dan produktivitas harus dikondisikan melalui iklim di dalam lingkungan organisasi.
Jangan harap orang bisa tersenyum tulus apabila hatinya tidak sungguh-sungguh gembira untuk mengekspresikan “senyum tulusku untukmu” tersebut.
Sebetulnya sederhana sekali, ketika orang-orang atau pekerja dalam sebuah organisasi merasa puas, senang, bersuka cita, dapat menikmati suasana, hangat dan akrab satu sama lain, maka ia pun dengan mudah dapat mengekspresikan senyum tulus.
Senyuman yang menyejukkan orang lain tanpa harus dikomando, disuruh bahkan dipaksakan. Senyum! Klik!
Ekspresi di wajah seseorang berpengaruh langsung terhadap pola komunikasi dan bentuk interaksi sosial yang terjadi, termasuk ekspresi balasan yang ditampilkan kemudian.
Di gerbang tol Jatiwarna, Bekasi, misalnya, bagai oase saat memasuki antrean di salah satu gerbang tol. Saya juluki gerbang tol itu paling cerdas dari sekian banyak gerbang tol yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Gerbang pada ruas Jatiwarna ini adalah loket jalan keluar menuju salah satu taman wisata di timur Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Meski antrean kendaraan begitu panjang, petugas selalu proaktif mengambil kartu, menerima pembayaran, dan siap dengan uang kembali.
Dari segi waktu dan gerak (time and motion) terkesan efektif, efisien, dan optimal. Dalam hal jasa layanan, sapaan ramah dan senyum hangat melengkapi kecerdasan di gerbang itu. Senyum yang menghiasi wajah petugas plus ucapan “selamat jalan”, tentu menyejukkan hati, bukan?
Komunikasi Nonverbal
Senyum merupakan salah satu isyarat nonverbal atau gesture manusia dalam berkomunikasi. Penelitian yang dilakukan Leonard, Voeller, dan Kaldau (1991) menunjukkan di dalam setiap senyuman terjadi peningkatan pesan positif yang komunikatif.
Indonesia sebagai negeri yang konon dikenal dengan keramahtamahannya (entah masih berlaku atau tidak?), senyuman mungkin tak terlalu sulit ditemui. Namun, tentu bukan hal mudah mengetahui apakah senyuman yang terpampang di hadapan kita itu tulus atau dibuat-buat.
Diperlukan latihan dan pengamatan yang lebih seksama apabila kita mempunyai kebutuhan untuk membeda-bedakan senyum seseorang dalam komunikasi. Sebagai isyarat di dalam komunikasi nonverbal, sebuah senyuman setidaknya memiliki enam ciri sebagaimana konsep komunikasi nonverbal secara umum.
Pertama, ia hadir di mana-mana, sebab setiap komunikasi yang terjadi pasti membawa serta isyarat nonverbal.
Kedua, membentuk suatu sistem bahasa yang universal. Banyak orang percaya isyarat nonverbal, seperti senyuman, merupakan kode yang diakui dan dipahami secara mendunia.
Ketiga, dapat menciptakan salah pengertian sebagaimana juga saling mengerti antarmanusia. Makna sebuah senyuman dapat pula salah ditangkap orang lain.
Keempat, memiliki keunggulan khas dalam interaksi antarmanusia, sebab isyarat nonverbal berpengaruh kuat pada menit-menit pertama sebelum terlalu banyak kata-kata terlontar.
Kelima, dapat mengekspresikan berbagai hal tentang pikiran dan perasaan orang yang tak mampu disampaikan dengan kata-kata. Misalnya sesuatu yang terlalu kasar, apabila harus diucapkan, senyuman dengan ekspresi jijik mungkin lebih mudah dan cepat ditangkap. Keenam, dapat dipercaya merupakan ciri yang begitu kuat.
Orang mengatakan ekspresi adalah “jendela jiwa”, demikian halnya senyuman dengan berbagai bentuk dan maknanya dapat dipercaya sebagai penyampai pesan yang ampuh mengenai kedalaman jiwa seseorang.
Beberapa ahli psikologi klinis melakukan penelitian mengenai senyuman. Mereka adalah Ekman dan kawan-kawan, mempublikasikan hasil temuannya bahwa perbedaan beberapa bentuk senyuman yang tampil, juga membedakan apakah seseorang tersenyum tulus atau hanya berpura-pura demi menutup-nutupi perasaan yang sesungguhnya.
Senyuman tulus yang mengekspresikan isi hati yang gembira biasanya terjadi bersamaan dengan munculnya gerakan otot mata. Orang-orang yang mengekspresikan senyum dari hati yang tulus tentu saja didorong oleh perasaan bahagia dan gembira ketika ia melakukannya.
Sebaliknya, senyum yang terjadi hanya di bibir, yakni dengan lengkungan ke atas, sedikit atau banyak, tanpa disertai gerakan-gerakan aktif otot di seputar mata sering dihubungkan dengan ekspresi jijik. Bahkan juga kesedihan, ketakutan, kecemasan, meremehkan, sinis, ekspresi rasa iri, yang sering kali terdapat pada senyuman orang-orang yang memanipulasi perasaan negatifnya.
Senyum yang muncul sebagai ekspresi manipulasi perasaan merupakan topeng (mask). Bagi orang yang kurang peka atau tidak terlatih menangkap ekspresi nonverbal orang lain, mungkin saja sebuah senyuman dapat menyesatkan atau mengaburkan.
Akibatnya, kepura-puraan dalam interaksi sosial disebabkan pesan sosial yang tidak sampai tersebut, semakin tebal. Beberapa tahun lalu, tembang dari God Bless yang dilantunkan Ahmad Albar, lirik awalnya mengatakan, “Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah…” cukup relevan menggambarkan kondisi dunia dan kehidupan manusia yang semakin diwarnai kepura-puraan.
Menyikapi keadaan dunia yang demikian, rasanya bisa pesimistis juga, jika setiap hari harus berhadapan dengan topeng-topeng wajah di sekeliling kita. Sementara kita membutuhkan nilai ketulusan pada ekspresi seseorang demi memperlancar pesan sosial dalam komunikasi.
Namun, marilah kita menghibur diri dengan pernyataan berikutnya dari Ekman dan kawan-kawan bahwa ekspresi wajah yang spontan (tidak sengaja) justru dapat mengungkapkan kebohongan atau kepura-puraan orang. Ekspresi seseorang, khususnya senyum yang menghiasi wajahnya, kadang-kadang dapat mendukung sikap kepura-puraannya atau justru menyingkap topeng pura-pura itu. Jadi, hati-hatilah memilih topeng.
Semakin sering menjumpai berbagai orang dengan berbagai topeng senyumannya, ditambah sedikit usaha meningkatkan kepekaan, kita dapat terampil menangkap senyum tulus atau pura-pura itu. Sekali lagi, senyuman yang tulus akan diikuti dengan gerakan aktif otot-otot di seputar mata.
Namun apabila ada orang yang tidak tersenyum jangan terlalu cepat dinilai tidak tulus. Sebab bisa saja otot wajahnya kaku, karena tidak terbiasa mengekspresikan perasaan. Atau ada pula orang-orang jaim (jaga image) yang menganggap senyum dapat menjatuhkan wibawa. Percayalah, ada orang seperti itu.
Ekspresi
Tidak perlu harus menjadi foto model atau selebriti untuk mengekspresikan senyuman di depan kamera, bukan? Jelas, senyuman memang mudah dibuat, dikondisikan, dan ditampilkan, demi mengakomodasi berbagai kepentingan.
Pencitraan perusahaan yang biasanya merupakan garapan bagian humas, banyak yang mencanangkan motto “senyum” sebagai salah satu kata kunci. Bahkan tak sedikit diangkat menjadi tagline iklan.
“Senyum dan sapa hangat kami senantiasa menyambut Anda sejak langkah pertama”, misalnya. Jika demikian, artinya senyum harus dilatih oleh setiap insan yang menjadi bagian organisasi tersebut. Apakah ini tergolong senyuman yang manipulatif?
Berpegang pada ciri-ciri senyuman tulus versi hasil penelitian, kita dapat mengembangkan pemahaman bahwa setiap orang bisa tersenyum. Namun, ada orang yang hanya “tersenyum di bibir” tapi “tidak tersenyum matanya”.
Dengan demikian pencanangan dan pelatihan “tersenyum” demi meningkatkan layanan dan produktivitas harus dikondisikan melalui iklim di dalam lingkungan organisasi.
Jangan harap orang bisa tersenyum tulus apabila hatinya tidak sungguh-sungguh gembira untuk mengekspresikan “senyum tulusku untukmu” tersebut.
Sebetulnya sederhana sekali, ketika orang-orang atau pekerja dalam sebuah organisasi merasa puas, senang, bersuka cita, dapat menikmati suasana, hangat dan akrab satu sama lain, maka ia pun dengan mudah dapat mengekspresikan senyum tulus.
Senyuman yang menyejukkan orang lain tanpa harus dikomando, disuruh bahkan dipaksakan. Senyum! Klik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar